
Lampung, Prioritasnews.ID — Rangkaian pemadaman listrik yang kerap terjadi secara mendadak dan berulang kali di Kecamatan Kalirejo, Kabupaten Lampung Tengah, terus menuai kritik keras dari masyarakat, Minggu (15/6/25).
Selain berdampak pada aspek sosial dan ekonomi, pemadaman tak beraturan ini juga menimbulkan persoalan teknis yang cukup kompleks, khususnya bagi pengguna meteran listrik model lama (pasca bayar).
Di tengah amarah publik atas pelayanan PT PLN (Persero) yang dinilai abai terhadap hak konsumen, muncul kekhawatiran mengenai keandalan pencatatan pemakaian energi listrik pada meteran lama.
Warga menilai, seringnya padam-nyala secara tiba-tiba bukan saja mengganggu kenyamanan, tetapi juga dapat berimplikasi pada akurasi pengukuran konsumsi listrik serta potensi pembengkakan tagihan.
Sejumlah kajian teknis menyebutkan bahwa meteran listrik konvensional, baik analog maupun digital lama, rentan mengalami penyimpangan pengukuran ketika terjadi fluktuasi tegangan dan arus akibat pemadaman mendadak.
Distorsi harmonik yang muncul saat listrik kembali menyala bisa menyebabkan error pencatatan hingga lebih dari 60%, terlebih pada meteran yang sudah tua dan aus.
Dalam praktiknya, sistem pembacaan manual atau estimasi pemakaian yang digunakan PLN di beberapa wilayah dapat membuat tagihan warga menjadi tidak mencerminkan konsumsi riil.
Tak jarang pula lonjakan daya sesaat (start-up current spike) saat listrik kembali menyala menambah beban catatan kWh yang seharusnya tidak terjadi, sehingga pemadaman yang semestinya menjadi kendala teknis justru berubah menjadi beban biaya yang tidak adil bagi masyarakat.
“Meteran kami bukan token, jadi masih yang lama. Seringkali PLN menghitung berdasarkan perkiraan bulan sebelumnya. Kalau listrik sering mati tapi tagihan makin mahal, kami patut curiga,” ujar warga Kampung Sri Way Langsep.
Kondisi ini diperparah dengan tidak adanya sosialisasi teknis maupun edukasi dari PLN mengenai dampak pemadaman terhadap sistem kelistrikan rumah tangga. Akibatnya, masyarakat dibiarkan menanggung beban teknis dan psikologis dari praktik pemadaman yang tidak akuntabel.
Fenomena ini menggambarkan ketimpangan pelayanan publik di sektor energi yang masih dirasakan masyarakat luar kota. Padahal, dalam kerangka visi pembangunan nasional dan prinsip keadilan sosial, ketersediaan energi yang andal, stabil, dan adil adalah hak konstitusional warga negara.
Terlebih lagi, di era kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, yang secara eksplisit menekankan pentingnya efisiensi tata kelola dan optimalisasi pelayanan dasar, semestinya pelayanan dari badan usaha milik negara seperti PLN sudah jauh lebih baik dan profesional.
Jika pemerintah pusat mengusung agenda kedaulatan energi, maka energi yang mudah padam dan tidak terukur akurat di daerah adalah bentuk pengingkaran terhadap cita-cita tersebut. Warga berharap era Prabowo menjadi momentum pembenahan sistemik, bukan kelanjutan dari ketidakpastian layanan dasar yang merugikan masyarakat kecil. (*)