
Tanggamus, Prioritasnews.ID – Di tengah hiruk-pikuk pengusutan dugaan KKN yang menyelimuti Pekon Gunung Tiga, muncul sebuah babak baru dalam opera desa berjudul “Siapa Sebenarnya yang Memberitakan Saya?”.
Tokoh utama kali ini adalah sang kepala pekon berinisial MHJ, yang tampaknya sedang mengalami krisis epistemologis, ia bingung membedakan antara media, badan hukum, dan siapa sebenarnya yang menulis berita tentang dirinya.
Drama ini dimulai ketika MHJ dalam semangat investigatif yang patut diapresiasi jika tidak terlalu konyol mencoba menghubungi seorang wartawan berinisial ALFH, yang merupakan pemilik dari sebuah media lokal bernama RCM.
Media RCM tidak menulis satu kalimat pun tentang dirinya. Namun MHJ, dengan logika ala detektif karbitan, bersikukuh bahwa media RCM dan media yang memberitakan dirinya merupakan bagian dari media yang telah menandatangani MOU langganan dengan seluruh pekon di Kecamatan Pugung.
Pernyataan tersebut, walau disampaikan dengan penuh percaya diri, justru memperjelas bahwa MHJ mengalami kekacauan kategoris dalam membedakan entitas pers, mirip seperti seseorang yang marah ke Netflix karena film di YouTube membuatnya menangis. Dalam filsafat logika, ini dikenal sebagai fallacy of misattributed agency, atau dalam bahasa rakyat: “Mungkin mau marah ke orang yang nggak tahu apa-apa.”
Menurut penelusuran redaksi, media yang benar-benar memuat berita terkait dugaan KKN di Pekon Gunung Tiga adalah media lain yang secara formal maupun hukum bukan afiliasi dari RCM milik ALFH.
Bahkan bisa dibilang, hubungan kedua media itu sejauh antara nasi padang dan sushi Jepang. Sama-sama makanan, tapi jangan harap bisa dimakan bersamaan tanpa kebingungan caranya.
Lebih lanjut, MHJ disebut-sebut sempat mencoba mengingatkan sang wartawan bahwa media tersebut baik RCM maupun media yang memberitakan : “kan sudah langganan satu paket dengan seluruh pekon di Kecamatan Pugung.”
Pernyataan ini tidak hanya bias logika, tapi juga mengandung potensi pengaburan fakta yang subtil.
Pertama-tama, mari kita luruskan: kerja sama MOU antara media dengan pekon atau kecamatan bukan berarti media tersebut tidak boleh memberitakan hal-hal kritis. Kalau itu logikanya, maka kerja sama iklan antara media dan minimarket berarti media tidak boleh memberitakan kalau Indomie naik harga. Lucu sekali, bukan? Tapi juga mengerikan kalau dibiarkan.
Dan yang lebih epik lagi, media yang dimaksud MHJ sebagai “berlangganan” pun bukanlah media yang memberitakannya. Jadi MHJ di sini melakukan asumsi berlapis keliru:
1. Menganggap berita berasal dari media RCM
2. Menganggap RCM dan media pemberita adalah satu paket MOU
3. Menyalahkan wartawan ALFH yang tidak tahu-menahu
4. Menggunakan argumen “langganan kecamatan” sebagai tameng moral
Menanggapi hal ini, ALFH sebagai pemilik media RCM, hanya bisa menghela napas dalam-dalam konon sampai mengganggu aliran oksigen di kantor redaksi. Dalam pernyataan singkatnya, ia menyebut bahwa media miliknya sama sekali tidak memiliki keterlibatan dalam pemberitaan yang dimaksud, dan menyayangkan tindakan MHJ yang tidak melakukan klarifikasi secara cermat sebelum menyampaikan tuduhan.
“Saya justru kaget. Namanya disebut-sebut, medianya dituding, padahal kami bahkan sedang memberitakan hal lain soal kegiatan sosial dan pelatihan pemuda desa. Kok bisa-bisanya dituduh begitu?” ungkap ALFH dengan nada datar namun penuh energi sarkastik.
Kepada MHJ dan para pejabat desa lainnya yang hobi menyalahkan media yang salah cobalah pelajari perbedaan antara “sumber berita” dan “subjek berita”. Jangan sampai Anda menghukum pemilik warung sebelah hanya karena warung Anda ditulis ulasan buruk oleh orang lain di Google Review.
Karena jika terus begini, kita akan butuh lebih dari sekadar auditor untuk membenahi pekon: kita butuh dosen logika, guru bahasa Indonesia, dan mungkin juga terapis. (Davit)
Komentar